Arus Zaman yang Sama: Pameran Tunggal dari Munir, Si Pelukis Beraliran Art Brut

BANJARTIMES– Pelukis asal Banyumas, Munir, menggagas pameran tunggal bertema Arus Zaman yang Berbeda di Kafe Siang Malam Banjarbaru, dari tanggal 22 hingga 27 November 2021 tadi.

Sebanyak 24 lukisan terpajang di dinding kafe saat Banjartimes mengunjungi pameran tunggal Munir, Sabtu (27/11/2021) malam.

Mahasiswa Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta ini merupakan pelukis beraliran art brut. Genre seni visual yang acapkali keluar dari pakem artistik.

Para pelukis yang bergelut di aliran art brut ini biasanya lahir dari belajar otodidak. Begitu pula Munir. Mengacu sejarahnya, oleh orang-orang yang menekuni genre ini ini biasanya mengidap masalah mental.

“Permulaan sejarahnya memang begitu. Tapi, keterbelakangan mental itu tentu ada penyebabnya. Entah itu politik atau aturan sosial yang kemudian banyak mengatur cara hidup manusia itu sendiri. Jadi menurut saya ‘keterbelakangan mental’ di sini, jangan dianggap gila atau syarafnya pada pedot ya,” terang pria 31 tahun itu.

Dalam proses kreatifnya, karya lukisan Munit lebih banyak lahir dari renungannya terhadap realitas yang ada. Kegelisahan itu kemudian diakumulasi dalam bentuk coret-coret menggunakan pastel dan tinta cina. Pemilihan medium kertas sebab murah. Selain itu, ia bercerita bahwa bisa menghasilkan sekitar empat karya dalam sehari.

“Biasa sambil minum-minum (mabuk),” bebernya sambil tergelak.

Munir menjelaskan bahwa mulanya pameran tersebut adalah ajang silaturahmi ia dengan maestro lukis Kalimantan Selatan, Misbach Thamrin. Rencana silaturahmi itu dibincangkan jauh-jauh hari, sekitar lima atau enam bulan. Tema Arus Zaman yang Berbeda itu sendiri dimaksudkan tentang rentang waktu yang panjang antara Munir dan seniman idolanya tersebut.

“Respon pengunjung sih sangat bagus. Saya menganggap perkembangan teknologi yang meluas memudahkan masyarakat untuk mencari informasi dengan konsep yang saya bawakan, hanya saja belum sepenuhnya memahami.”

“Tanggapan Wakil Wali Kota Banjarbaru juga cukup baik, cuma terkesan heran. Ya itu saya maklumi, sebab dia bukan dalam bidangnya,” ucapnya kepada Banjartimes.com, Sabtu (27/11/2021).

Setelah pameran di Banjarbaru berakhir, dia kemudian bertolak ke Samarinda untuk menghelat pameran yang sama dengan konsep outdoor. Pameran di sana rencananya sebagai respons kekerasan HAM, bekerjasama dengan kawan-kawan Kamisan Kalimantan Timur.

“Kami juga berjualan baju propaganda dan homemade wine buat ongkos,” tambahnya lagi.

Brute Art Hingga Bumi Tarung, Tetangga Saut Situmorang

Pada tahun 1921, Dr. Walter Morgenthaler menerbitkan buku Ein Geisteskranker als Künstler (A Mental Patient as Artist) tentang Adolf Wölfli, seorang pasien psikotik dalam perawatannya yang beralih ke penciptaan seni (khususnya menggambar), yang tampaknya memiliki efek menenangkan.

Kemudian setahun setelahnya, Prinzhorn juga menerbitkan buku Bildnerei der Geisteskranken (Artistry of the Mentally Ill). Buku itu mencakup analisis formal berdasarkan ribuan karya seni oleh pasien sakit jiwa di berbagai institusi Eropa. Para seniman avand-garde saat itu, seperti Paul Klee dan Jean Dubuffet, kemudian menaruh minat kepada gambar-gambar yang ada di buku tersebut.

Jean Dubuffet membuat koleksinya sendiri, terinspirasi dari gambar-gambar pada buku itu, namun juga memasukkan unsur eksentrik dan ketidakcocokan sosial, bukan sekedar mereka yang menderita kesehatan mental. Dia menamakan jenis seni dengan nama Art Brut (secara harfiah diterjemahkan sebagai “seni mentah”).

Dubuffet mendefinisikan art brut sebagai: “karya-karya yang diciptakan orang-orang yang tidak tersentuh oleh budaya artistik–bertentangan dengan apa yang terjadi di kalangan intelektual–mempunyai sedikit atau tidak ada bagian, sehingga pembuatnya memperoleh segalanya (mata pelajaran, bahan yang digunakan, alat transportasi, ritme, cara membuat pola, dll) dari sumber daya mereka sendiri. Bukan dari konvensi seni klasik atau seni yang kebetulan menjadi mode.”

Dubuffet menemukan art brut sebagai inspirasi penting untuk seninya sendiri, karena ia percaya itu sebagai ekspresi emosi yang lebih murni, tulus, dan otentik, kebal terhadap pengaruh asimilasi budaya arus utama.

Dia berusaha untuk meniru kenaifan kekanak-kanakan, namun pelatihannya dalam melukis di akademi seni serta kesadaran dirinya sebagai seniman dan pengetahuannya tentang dunia seni arus utama berarti bahwa dia tidak boleh dianggap sebagai dirinya sendiri. Sebaliknya, karyanya lebih baik didefinisikan sebagai primitivisme, seni pseudo-naif, dan seni naif palsu.

Setelah menghabiskan berjam-jam duduk di depan laptop untuk menemukan sekedar informasi di atas, saya memutuskan membikin janji bertemu dengan Munir yang menghelat pameran tunggal dengan lukisan berteknik art brut. Dia meminta saya untuk sekaligus membelikan (untuk nanti diganti) cat tembok sebelum melawat pada Sabtu (27/11/2021) malam di Kafe Siang Malam, lokasi ia menggelar pameran.

Datang dengan menjinjing kantong kresek di tangan, saya menemuinya sedang dengan seorang teman. Sehabis berjabat tangan dan berbasa-basi sedikit, cat tembok yang saya tak tahu untuk apa itu lekas dibukanya.

Pada dinding ruangan itu sudah tidak tampak lukisannya. Hanya ada bekas-bekas hitam double tape yang melekat. Sebelumnya ia menggerus noda hitam yang masih kasar itu dengan pisau cutter, sebelum kemudian diolesi cat. Beberapa menit berselang, dinding memutih seperti semula.

Hari itu adalah terakhir pameran di Banjarbaru, keesokannya ia berencana berangkat ke Samarinda untuk menghelat pameran yang sama.

Ketika bertatap muka, sekilas kumis pria bertato itu sungguh mengingatkan saya dengan kumis khas aktivis dan pendiri Kontras, Munir Said Thalib–seperti namanya–meski masih teramat tipis.

Selama kurang lebih dua jam kami mengobrol, tidak jarang juga saling terdiam. Bicaranya sayup-sayup dan konstan. Sekali dia menawari saya homemade wine dan rokok marlboro. Keduanya tak cocok dengan saya–karena saya bukan peminum dan perokok–jadi mudah bagi saya menolaknya.

Pria asal Banyumas kelahiran 1990 itu bertetangga dengan penulis, Saut Situmorang. Dia mengungkapkan bahwa Saut adalah guru kekasihnya. Dia sering bertandang ke rumah Saut.

“Kalo ke rumah Saut, saya cuma menyimak dan mangut-mangut,” katanya, tersenyum.

Munir berkenalan dengan seni rupa sejak SMA. Tepatnya 2007, sebelum mulai menekuni sejak masuk ke perguruan tinggi negeri di Banyumas tahun 2010, serta tergabung dalam kelompok teater dan memegang bidang artistik.

Dia ikut serta mendirikan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) seni rupa di kampus tersebut. Setelah lulus, ia mencoba peruntungan untuk terlibat secara langsung dalam ranah akademik seni yaitu masuk ISI Yogyakarta. Sebelumnya ia mendapat bimbingan dari Ibob SeBumi selama proses kreatif di rentang 2011 hingga 2017.

Setelah hijrah ke Yogyakarta, ia dibimbing oleh guru yang juga sahabat baik Ibob, yakni Sumbul Planov, seniman yang satu angkatan dengan Ibob saat sama mengenyam akademis di ISI Yogyakarta. Dia sendiri mengambil minat Patung di jurusan seni murni. Berjalan di antara jejak guru-gurunya: Ibob, Sumbul atau lebih senior, Amrus Natalsya yang tergabung dalam Sanggar Bumi Tarung.

“Karya-karya seniman Bumi Tarung inilah yang juga menjadi salah satu rujukan saya berkarya selama ini,” ungkapnya.

Selanjutnya ia ditemukan dengan Fauzi as’ad, seniman patung yang juga jebolan ISI angkatan 1989, dan sekarang banyak berkiprah di Swiss. Dari sanalah ia banyak mengadopsi teks-teks dalam karyanya. Lalu ia mencoba menerapkan brute art dalam tekniknya.

Dia tertarik dengan konsep brute art karena menurutnya tidak kaku, lebih luwes, dan rumit dalam pemikiran meski tampak asal-asalan. Brute art dan naivisme menurutnya memiliki akar yang sama, yaitu peran sosial atau kehidupan yang mempengaruhi. Hanya saja dalam eksekusi katanya, naivisme lebih menonjolkan teknil realis.

“Lihat karya Frida Kahlo. Dalam pembagian aliran seni rupa ini, saya gak mau serampangan. Naivisme juga ada yang menggunakan teknik yang terlihat acak-acakan, namun untuk mencapai itu butuh pakem realis, dan sama dengan brut yang lahir dalam ruang akademik.

Selain itu ia mendapat inspirasi dari Semsar Siahaan, Yos Suprapto, Augusti Wara, Diego Rivera, Jean Basqueat, Paul Klee, juga Misbach Thamrin.

Perkembangan brute art di Indonesia menurutnya sangat bagus, dan meluas di kota-kota besar seperti Jogja, Jakarta, atau Bandung (karena latar belakang institusi seni yang juga mendukung perkembangan seni rupa atau masuk dalam teknik-teknik yang diajarkan).

Sekarang ini ia tergabung dalam beberapa komunitas. Dia aktif di Serikat Kebudayaan Indonesia (SeBumi) dan Art Call Indonesia, yaitu platform digital untuk even seni di Indonesia dan mancanegara. Serta Kelas Bebas (kumpulan seniman muda ISI Yogyakarta) dan SoBoman 219 art Management, juga terlibat aksi-aksi massa di dalam maupun luar Yogyakarta.

Pria yang senang membuat minuman wine homemade ini juga hobi bermain musik dari punk, grunge, sampai campur sari dan bossa nova. Dia sempat tergabung dalam band yang kini bubar entah ke mana.

Pada penghujung lebaran kemarin, ia membikin sebuah lukisan kritik tentang tambang kali progo di kain goni berukuran 10mx5. Proses penciptaannya selama 3 hari seorang diri. (MS)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *