PPMI Nasional Desak Keberadaan Persma Diakui Dewan Pers

Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) mendesak Dewan Pers agar mengatur payung hukum ihwal keberadaan persma sebagai organisasi kewartawanan yang sah. Bukan tanpa alasan, ancaman kekerasan (represi) terhadap jurnalis kampus dinilai seringkali masih mengintai jika regulasi ini tak juga segera digodok.

***

“Dewan Pers perlu menyatakan pentingnya menjaga dan mengembangkan pers mahasiswa di seluruh Indonesia. Bukannya membiarkan terjadi kriminalisasi, intimidasi maupun pembredelan,” kata Sekretaris Jendral (Sekjend) PPMI Nasional, Rahmad Ali, kepada banjartimes, pada Kamis (13/2/2020).

Dalam catatan PPMI Nasional, Rahmad menjelaskan setidaknya ada 58 jenis represi dari 33 kasus kekerasan yang terjadi pada pers mahasiswa selama rentang waktu 2017-2019.

Jenis represi yang paling sering dialami persma adalah intimidasi dengan jumlah 20 kali. Berikutnya ada pemukulan 8 kali, ancaman drop out 4 kali kriminalisasi 4 kali, dan penculikan 3 kali.

“Ada juga penyensoran berita, ancaman pembekuan dana, pembubaran aksi, pembekuan organisasi, kekerasan seksual, serta ancaman pembunuhan yang masing-masing tercatat pernah terjadi sebanyak dua kali,” kata dia.

Selain itu, ada juga jenis represi lain seperti penyebaran hoaks, pencabutan tulisan, ancaman perusakan sekretariat, pembubaran diskusi, pemecatan anggota, peleburan organisasi, dan perundungan (bullying).

Pelaku represi terhadap pers mahasiswa yang paling banyak adalah pejabat kampus dengan jumlah 18 kali. Berikutnya ada dari mahasiswa 7 kali, dosen 3 kali, satuan keamanan kampus 3 kali, oknum organisasi mahasiswa 2 kali, serta warganet kampus 2 kali.

“Represi juga dilakukan oleh pihak luar kampus seperti Polisi 7 kali, masyarakat sipil satu kali, dan oknum organisasi masyarakat sebanyak dua kali,” bebernya.

Berangkat dari catatan itu, Rahmad menginginkan adanya pengakuan Dewan Pers agar problem jurnalis bisa ditangani tanpa jalan kekerasan.

“Pers mahasiswa bagian penting dari perjuangan demokrasi, kebebasan akademik, dan hak asasi manusia,” tandasnya.

Senada dengan Rahmad, Sekjend PPMI Dewan Kota Banjarmasin, Muhammad Luthfi memandang pers mahasiswa juga bagian terpenting dalam dunia demokrasi kampus.

Dia menyebut pers mahasiswa tak hanya sekadar Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), namun lembaga ini juga melakukan kerja lapangan yang berpatokan dengan kode etik jurnalistik.

“Kalo dibilang takut iya, karena pers mahasiswa sendiri sejatinya adalah pers, sama halnya pers konvensional. Karena itu sangat penting pers mahasiswa diakui oleh Dewan Pers agar adanya payung hukum jika terjadi sesuatu seperti represifitas atau tekanan terhadap pers mahasiswa,” kata Luthfi.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *